Saya seringkali takut merasa sendirian. Saya tidak takut sendiri, tapi merasa sendirian bagi saya bukan hal yang menyenangkan. Padahal, saya selalu menganggap saya mandiri, saya bisa melakukan hal-hal sendiri. Namun, tetap saja, bila perasaan itu datang, saya tidak tahu mau sembunyi dimana.
Mungkin bukan sembunyi, tapi bagaimana mengatasinya. Hari ini, saya sedang sakit. Sudah dua hari tepatnya, flu berat ditambah batuk membuat demam datang. Akhirnya, tinggal di rumah menjadi satu-satunya pilihan. Saat ini, ada konser Ungu dan Samson, sebuah perpaduan yang menarik di kota kecil Banda Aceh ini. Pacar saya kebetulan juga sedang sibuk, maka laptop, radio di handphone, dvd dan buku menjadi teman baik saya.
Saya pikir, tidak ada orang yang suka sendiri. Konon, manusia diciptakan Tuhan berpasangan, ditambah, manusia ternyata adalah makhluk sosial. Dia tidak bisa hidup sendiri, dia pasti tergantung kepada orang lain untuk terus menjaganya tetap hidup. Entah dia sadari atau tidak.
Semakin tua, saya menyadari bahwa teman-teman saya semakin menghilang. Mereka memilih jalan hidupnya sendiri-sendiri; dan kadang, kita bahkan tidak pernah bertemu lagi. Bukan sombong, tapi saya pikir itulah mengapa dinamakan dunia, karena tidak pernah ada yang abadi. Baik itu pertemanan dekat atau relasi seperti hubungan orang tua dengan anak sekalipun. Manusia dilahirkan sendiri, menghadap Tuhan pun sendiri.
Beberapa teman yang masih tersisa biasanya memang karena sudah sekian lama berteman. Tetap saja bertukar cerita, walau mungkin telah terpisah jauh. Namun, tetap saja, kadang rasa sendiri itu tetap ada.
Saya, sekali lagi, masih mencari cara yang paling efektif, untuk mengatasi rasa sendiri ini. Menjadi dewasa memang tidak menyenangkan, namun, sayangnya tidak bisa saya hindari. Hm, semoga saya cepat sembuh dan bisa beraktivitas lagi. Dan semoga, tidak melulu merasa sendirian.
Feb 18, 2007 19:05
Monday, February 19, 2007
Virginitas
Hehehe, pasti beberapa dari yang membaca judulnya pun sudah tertawa, karena hal ini memang tidak ada habisnya menjadi sorotan. Yep, mengobrolkan hal yang satu ini memang sangat menarik, karena tidak pernah ada definisi baku mengenai hal yang konon diagung-agungkan masyarakat multi zaman.
Baru saja, saya berkirim pesan singkat dengan teman saya, yang kebetulan laki-laki. Dan lucunya membahas soal ini :-)
Virginitas biasanya dikait-kaitkan dengan perempuan. Banyak orang yang menilai, virgin berhubungan dengan kesucian. Misalnya saja di Indonesia, laki-laki yang masih perjaka ataupun tidak seringkali masih mematok perempuan yang akan dinikahinya dari virgin ini. Dan tidak sedikit orang yang memasang standar perempuan “baik-baik” hanya dari sini. Misalkan saja, perempuan yang punya pekerjaan layak, gaji tinggi, terlihat mandiri dan chick, dapat tercoreng citranya hanya karena dia tadi lagi perawan. Hm, saya berpikir, betapa hebatnya selaput dara perempuan mengkontruksi sistem nilai di masyarakat
Ketika saya belum sebesar yang sekarang (yah minimal 27 tidak bisa dibilang anak kecil :-)), saya juga terjebak dalam kungkungan berpikir, bahwa yang namanya virgin, yah selaput dara itu. Bila dia pecah atau rusak sebelum waktu pernikahan, maka “harga” perempuan menjadi turun. Padahal, seringkali selaput dara pecah atau rusak bukan akibat penetrasi penis, tapi akibat hal lain, misalnya cedera karena jatuh atau trauma benda keras. Dan saya pikir, apa sih selaput dara itu sehingga harga perempuan kebanyakan ditakar dari situ?
Banyak laki-laki yang masih “tergila-gila” dengan keperawanan yang notabene hanya selaput dara tadi. Padahal, saya pikir, keperawanan itu mestinya diukur dari hati dan pikiran perempuan tadi, sudah sejauh mana dia mengerti dunia. Bukan dari selaput daranya saja, yang bisa menyebabkan hidupnya hancur kalau dia rusak atau pecah sebelum waktunya.
Belum lagi, kalau perempuan menikah dengan laki-laki yang entah bodoh atau lugu menganggap bahwa pecah atau tidaknya selaput dara dinilai apakah dia berdarah ketika pertama kali berhubungan. Kalau masih ingat kasus Farid Harja yang menceraikan isterinya setelah hari pernikahannya karena mendapati isterinya tidak perawan, padahal apakah Farid Harja masih perjaka ketika itu? Wallahu alam (sayang dia sudah wafat jadi tidak bisa kita cari tahu J). Padahal, berdarah atau tidaknya tergantung apakah penis melukai pembuluh darah vagina/selaput dara atau tidak. Bila tidak, maka sampai sekuat apapun berusaha, sang perempuan tidak akan berdarah.
Saya masih heran saja, di hari seperti ini, di saat semakin modern-nya pemikiran manusia, masih banyak orang yang mengagung-agungkan virginitas alih-alih melihat kelebihan lain dari perempuan itu. Misalnya saja, bagaimana kadar intelektualitasnya, kecerdasannya dalam hubungan antarmanusia, amal yang telah dia lakukan, atau apapun yang jauh lebih kongkrit dan bermakna hanya dari sekedar perempuan itu virgin atau tidak.
Saya pikir, agak sulit kalau ingin menilai mental seseorang hari gini. Orang yang rajin solat dan pergi ke gereja pun masih tega korupsi dan mengobarkan perang saudara di Poso.
Saya lebih baik main aman saja, saya tidak mau jadi korban sistem yang seperti ini. Semoga saja, kekasih saya masih mau menikahi saya even saya tidak perawan sekalipun, amin. Kalaupun tidak, saya pikir, saya pasti belum menemukan orang yang tepat, yang mau menikahi saya karena saya, bukan karena selaput dara di dalam vagina sana. Tabik.
17Feb2007/9:52 pm after Luke’s last sms
Baru saja, saya berkirim pesan singkat dengan teman saya, yang kebetulan laki-laki. Dan lucunya membahas soal ini :-)
Virginitas biasanya dikait-kaitkan dengan perempuan. Banyak orang yang menilai, virgin berhubungan dengan kesucian. Misalnya saja di Indonesia, laki-laki yang masih perjaka ataupun tidak seringkali masih mematok perempuan yang akan dinikahinya dari virgin ini. Dan tidak sedikit orang yang memasang standar perempuan “baik-baik” hanya dari sini. Misalkan saja, perempuan yang punya pekerjaan layak, gaji tinggi, terlihat mandiri dan chick, dapat tercoreng citranya hanya karena dia tadi lagi perawan. Hm, saya berpikir, betapa hebatnya selaput dara perempuan mengkontruksi sistem nilai di masyarakat
Ketika saya belum sebesar yang sekarang (yah minimal 27 tidak bisa dibilang anak kecil :-)), saya juga terjebak dalam kungkungan berpikir, bahwa yang namanya virgin, yah selaput dara itu. Bila dia pecah atau rusak sebelum waktu pernikahan, maka “harga” perempuan menjadi turun. Padahal, seringkali selaput dara pecah atau rusak bukan akibat penetrasi penis, tapi akibat hal lain, misalnya cedera karena jatuh atau trauma benda keras. Dan saya pikir, apa sih selaput dara itu sehingga harga perempuan kebanyakan ditakar dari situ?
Banyak laki-laki yang masih “tergila-gila” dengan keperawanan yang notabene hanya selaput dara tadi. Padahal, saya pikir, keperawanan itu mestinya diukur dari hati dan pikiran perempuan tadi, sudah sejauh mana dia mengerti dunia. Bukan dari selaput daranya saja, yang bisa menyebabkan hidupnya hancur kalau dia rusak atau pecah sebelum waktunya.
Belum lagi, kalau perempuan menikah dengan laki-laki yang entah bodoh atau lugu menganggap bahwa pecah atau tidaknya selaput dara dinilai apakah dia berdarah ketika pertama kali berhubungan. Kalau masih ingat kasus Farid Harja yang menceraikan isterinya setelah hari pernikahannya karena mendapati isterinya tidak perawan, padahal apakah Farid Harja masih perjaka ketika itu? Wallahu alam (sayang dia sudah wafat jadi tidak bisa kita cari tahu J). Padahal, berdarah atau tidaknya tergantung apakah penis melukai pembuluh darah vagina/selaput dara atau tidak. Bila tidak, maka sampai sekuat apapun berusaha, sang perempuan tidak akan berdarah.
Saya masih heran saja, di hari seperti ini, di saat semakin modern-nya pemikiran manusia, masih banyak orang yang mengagung-agungkan virginitas alih-alih melihat kelebihan lain dari perempuan itu. Misalnya saja, bagaimana kadar intelektualitasnya, kecerdasannya dalam hubungan antarmanusia, amal yang telah dia lakukan, atau apapun yang jauh lebih kongkrit dan bermakna hanya dari sekedar perempuan itu virgin atau tidak.
Saya pikir, agak sulit kalau ingin menilai mental seseorang hari gini. Orang yang rajin solat dan pergi ke gereja pun masih tega korupsi dan mengobarkan perang saudara di Poso.
Saya lebih baik main aman saja, saya tidak mau jadi korban sistem yang seperti ini. Semoga saja, kekasih saya masih mau menikahi saya even saya tidak perawan sekalipun, amin. Kalaupun tidak, saya pikir, saya pasti belum menemukan orang yang tepat, yang mau menikahi saya karena saya, bukan karena selaput dara di dalam vagina sana. Tabik.
17Feb2007/9:52 pm after Luke’s last sms
Karena sudah kelamaan sendiri dan kemudian berdua
Baru saja, saya bertemu dengan seorang teman perempuan, yang menjenguk datang menjenguk karena saya sedang sakit. Memang sangat enak berteman dengan perempuan, karena mereka cenderung lebih peka akan hal-hal. Namun, saya tidak mengatakan bahwa tidak enak berteman dengan lawan jenis J
Teman perempuan saya ini bercerita bahwa dia sedang dekat dengan seorang pria. Lebih tepatnya, pria ini berkehendak ingin terus dekat dengan teman saya ini. Tampaknya, pria ini sedang PDKT (baca: pendekatan). Teman saya ini bilang, bahwa dia senang-senang saja didekati laki-laki. Ah siapa juga perempuan yang tidak suka bisa disuki laki-laki. Bahkan, jika kita perempuan tidak suka dengan laki-laki yang mendekati itu, tetap saja jauh di lubuk hatinya, perasaan keperempuanannya pasti senang. Anugrah Tuhan bukan, ketika ada orang yang menyukai kita?
Teman saya ini sudah agak lama sendiri, menjomblo lah bahasa gaulnya. Sejak pindah ke negeri tanah rencong ini, dia memang belum lagi menjalin hubungan dengan laki-laki. Ketika ada seorang pria yang mendekatinya, dia pun belum lagi terbiasa. Ketika kemarin berbelanja membeli buah untuk saya, lelaki itu berbaik hati ingin membawakan buah yang dibeli teman saya. Tapi teman saya ini menolak. Beberapa kali. Sampai akhirnya, pria ini berkata, kamu tidak butuh laki-laki ya. Teman saya mengulum senyum dan berkata, ah, saya biasa mengerjakan apa-apa sendiri.
Teman saya berpikir, sudah nyaman sendiri, merdeka dan punya uang sendiri. Dan bisa jadi, saat ini dia tidak butuh laki-laki. Memang sulit membiasakan lagi bersama dengan lawan jenis apalagi bila sudah biasa apa-apa sendiri. Saya juga pernah mengalami hal yang sama. Sudah setahun saya menjalin hubungan dengan laki-laki itu, yang saya juga tidak menyangka bisa berjalan selama ini. Berjalan di masa-masa sulit karena keduanya sudah sangat merdeka dan mandiri, dan sekarang harus belajar untuk saling tergantung. Bukan tergantung yang tidak sehat tentu saja, tapi ketergantungan dua orang yang sama-sama independen. Kata Stephen R. Covey, seorang ahli sumber daya manusia, ketergantungan dua orang yang idependen bernama interdependensi. Bersinergi berdua untuk kemajuan yang lebih baik. Seperti prinsip saya, sendiri harus baik, berdua harus lebih baik. Bila berdua tidak lebih baik, maka sendiri saja. Karena saya pikir, kalau kita sendiri belum baik, bagaimana bisa baik bersama orang lain.
Namun, saya beruntung. Saya dulu pernah terjebak bahwa saya tidak akan butuh laki-laki, karena saya seringkali gagal menjalin hubungan. Namun, ketika dalam perjalanan hidup saya, saya bertemu denga pria yang luar biasa, yang saya pikir, dia sama-sama menuju kemerdekaanya sebagai manusia. Dan saya pikir, dia bisa saya percaya.
Tidak mudah di kala awal, bahkan masih tidak mudah di saat saya mengetik tulisan ini. Kami sama-sama harus membiasakan diri bahwa sekarang kami berhubungan. Misalnya saja, sekarang ini kami belajar untuk sama-sama berkomunikasi setiap hari, sekedar menceritakan apa yang kami lalui. Kami juga belajar untuk menginformasikan keberadaan kami. Memang tidak sampai segitunya, tapi memang sekarang ini saya punya kekhawatiran lebih bila dia tidak mengkontak saya seharian. Yah, apakah itu resiko sebuah hubungan? Bisa jadi iya.
Yang jelas, kami masih sama-sama belajar untuk saling mengenal. Dan bila surga memang berpihak pada kami, bisa jadi kami akan terus bersinergi. Amin.
17 Februari 2007
Teman perempuan saya ini bercerita bahwa dia sedang dekat dengan seorang pria. Lebih tepatnya, pria ini berkehendak ingin terus dekat dengan teman saya ini. Tampaknya, pria ini sedang PDKT (baca: pendekatan). Teman saya ini bilang, bahwa dia senang-senang saja didekati laki-laki. Ah siapa juga perempuan yang tidak suka bisa disuki laki-laki. Bahkan, jika kita perempuan tidak suka dengan laki-laki yang mendekati itu, tetap saja jauh di lubuk hatinya, perasaan keperempuanannya pasti senang. Anugrah Tuhan bukan, ketika ada orang yang menyukai kita?
Teman saya ini sudah agak lama sendiri, menjomblo lah bahasa gaulnya. Sejak pindah ke negeri tanah rencong ini, dia memang belum lagi menjalin hubungan dengan laki-laki. Ketika ada seorang pria yang mendekatinya, dia pun belum lagi terbiasa. Ketika kemarin berbelanja membeli buah untuk saya, lelaki itu berbaik hati ingin membawakan buah yang dibeli teman saya. Tapi teman saya ini menolak. Beberapa kali. Sampai akhirnya, pria ini berkata, kamu tidak butuh laki-laki ya. Teman saya mengulum senyum dan berkata, ah, saya biasa mengerjakan apa-apa sendiri.
Teman saya berpikir, sudah nyaman sendiri, merdeka dan punya uang sendiri. Dan bisa jadi, saat ini dia tidak butuh laki-laki. Memang sulit membiasakan lagi bersama dengan lawan jenis apalagi bila sudah biasa apa-apa sendiri. Saya juga pernah mengalami hal yang sama. Sudah setahun saya menjalin hubungan dengan laki-laki itu, yang saya juga tidak menyangka bisa berjalan selama ini. Berjalan di masa-masa sulit karena keduanya sudah sangat merdeka dan mandiri, dan sekarang harus belajar untuk saling tergantung. Bukan tergantung yang tidak sehat tentu saja, tapi ketergantungan dua orang yang sama-sama independen. Kata Stephen R. Covey, seorang ahli sumber daya manusia, ketergantungan dua orang yang idependen bernama interdependensi. Bersinergi berdua untuk kemajuan yang lebih baik. Seperti prinsip saya, sendiri harus baik, berdua harus lebih baik. Bila berdua tidak lebih baik, maka sendiri saja. Karena saya pikir, kalau kita sendiri belum baik, bagaimana bisa baik bersama orang lain.
Namun, saya beruntung. Saya dulu pernah terjebak bahwa saya tidak akan butuh laki-laki, karena saya seringkali gagal menjalin hubungan. Namun, ketika dalam perjalanan hidup saya, saya bertemu denga pria yang luar biasa, yang saya pikir, dia sama-sama menuju kemerdekaanya sebagai manusia. Dan saya pikir, dia bisa saya percaya.
Tidak mudah di kala awal, bahkan masih tidak mudah di saat saya mengetik tulisan ini. Kami sama-sama harus membiasakan diri bahwa sekarang kami berhubungan. Misalnya saja, sekarang ini kami belajar untuk sama-sama berkomunikasi setiap hari, sekedar menceritakan apa yang kami lalui. Kami juga belajar untuk menginformasikan keberadaan kami. Memang tidak sampai segitunya, tapi memang sekarang ini saya punya kekhawatiran lebih bila dia tidak mengkontak saya seharian. Yah, apakah itu resiko sebuah hubungan? Bisa jadi iya.
Yang jelas, kami masih sama-sama belajar untuk saling mengenal. Dan bila surga memang berpihak pada kami, bisa jadi kami akan terus bersinergi. Amin.
17 Februari 2007
Wednesday, February 14, 2007
The forces of nature
8 Februari 2007
Nature, to be commanded, must be obeyed.
(Alam, untuk diperintah, harus ditaati)
Francis Bacon
Sebuah opini di Kompas, 6 Februari 2007 milik YF La Kahija (Merefleksikan Alam di Kala Bencana) yang memuat kutipan di atas membuat saya terhenyak. Ternyata untuk bekerja sama dengan alam, kita harus mentaati hukumnya. Melanggar hukum alam, berarti memusuhinya. Memusuhinya, berarti bunuh diri, karena manusia jelas-jelas bergantung kepada alam untuk dapat bertahan hidup.
Mari bicara dalam konteks Indonesia saja. Alam memang tampak sedang mengamuk. Sejak Desember 2004, alam tampaknya belum “jinak” juga sampai sekarang. Bencana seakan tidak berhenti. Yang berhasil saya ingat adalah tsunami yang menghantam Aceh 26 Desember 2004. Dilanjutkan gempa bumi yang menguncang Nias. Lalu tsunami Pangandaran, gempa bumi yang meluluhlantakkan Yogyakarta, lumpur Lapindo Brantas, longsor di Mandailing Natal, dan banjir di Tamiang, Aceh Tengah. Yang terakhir adalah banjir yang sedang terjadi di beberapa daerah Indonesia, termasuk ibukota.
Indonesia adalah area yang rawan bencana, akibat letaknya yang konon “strategis” di antara dua benua (Asia dan Australia), dua samudra (Hindia dan Pasifik) dan juga dua lempeng bumi yang sangat aktif. Seringkali, kita terbuati dengan kata strategis, tanpa tahu lebih lanjut apa akibat dari lokasi ini, terutama untuk alam. Pelajaran geografi tidak pernah mendapat tempat yang layak di jenjang-jenjang pendidikan yang ada di Indonesia. Mungkin bisa dibuktikan ke anak-anak SD sekarang ini, seberapa seringnya mereka belajar geografi yang bukan hanya menghafal nama-nama gunung di Indonesia.
Selain minimnya pengetahuan masyarakat Indonesia, kesadaran yang rendah untuk hidup bersama-sama alam juga masih sangat rendah. Jakarta misalnya, yang setiap tahun selalu langganan banjir dan setiap lima tahun hampir selalu kena banjir bandang. Lihatlah mereka yang memilih daerah aliran sungai (DAS) untuk tempat tinggal. Mereka membangun rumah-rumah seadanya, menempati aliran sungai yang seyogyanya harus bebas mengalir. Orang-orang juga seringkali masih menggunakan sungai sebagai tempat pembuangan sampah. Alih-alih membangun gorong-gorong dan drainase yang memadai, juga taman-taman kota untuk penyerapan air, Pemda Jakarta tampaknya lebih senang membangun sarana&prasarana di atas tanah seperti mal (perlu diketahui: pada zaman Sutiyoso, pembangunan mal mencapai 20 kali lipat dibanding pada masa gubernur sebelumnya), gedung perkantoran, busway, real-estate, dan yang paling baru, monoreal. Izin pembangunan sangat mudah diberikan, padahal, tanpa draisnase yang memadai, kehancuran hanya tinggal menunggu waktu.
Belum lagi soal sampah, masyarakat Jakarta belum mengenal pemisahan sampah organik dan an-organik, juga pengolahannya yang efektif. Padahal di Austria sana, sampah diolah menjadi sumber pembangkit listrik. Saya yakin, hal ini bisa saja dilakukan di Indonesia.
Hal di atas adalah hanya sekelumit contoh ketidakmauan msyarkat untuk belajar memahami alam. Alam pasti memberi banyak, bila manusia belajar bagaimana mematuhinya. Bila manusia tidak mau belajar, kehancuran alam pasti akan semakin cepat.
Nature, to be commanded, must be obeyed.
(Alam, untuk diperintah, harus ditaati)
Francis Bacon
Sebuah opini di Kompas, 6 Februari 2007 milik YF La Kahija (Merefleksikan Alam di Kala Bencana) yang memuat kutipan di atas membuat saya terhenyak. Ternyata untuk bekerja sama dengan alam, kita harus mentaati hukumnya. Melanggar hukum alam, berarti memusuhinya. Memusuhinya, berarti bunuh diri, karena manusia jelas-jelas bergantung kepada alam untuk dapat bertahan hidup.
Mari bicara dalam konteks Indonesia saja. Alam memang tampak sedang mengamuk. Sejak Desember 2004, alam tampaknya belum “jinak” juga sampai sekarang. Bencana seakan tidak berhenti. Yang berhasil saya ingat adalah tsunami yang menghantam Aceh 26 Desember 2004. Dilanjutkan gempa bumi yang menguncang Nias. Lalu tsunami Pangandaran, gempa bumi yang meluluhlantakkan Yogyakarta, lumpur Lapindo Brantas, longsor di Mandailing Natal, dan banjir di Tamiang, Aceh Tengah. Yang terakhir adalah banjir yang sedang terjadi di beberapa daerah Indonesia, termasuk ibukota.
Indonesia adalah area yang rawan bencana, akibat letaknya yang konon “strategis” di antara dua benua (Asia dan Australia), dua samudra (Hindia dan Pasifik) dan juga dua lempeng bumi yang sangat aktif. Seringkali, kita terbuati dengan kata strategis, tanpa tahu lebih lanjut apa akibat dari lokasi ini, terutama untuk alam. Pelajaran geografi tidak pernah mendapat tempat yang layak di jenjang-jenjang pendidikan yang ada di Indonesia. Mungkin bisa dibuktikan ke anak-anak SD sekarang ini, seberapa seringnya mereka belajar geografi yang bukan hanya menghafal nama-nama gunung di Indonesia.
Selain minimnya pengetahuan masyarakat Indonesia, kesadaran yang rendah untuk hidup bersama-sama alam juga masih sangat rendah. Jakarta misalnya, yang setiap tahun selalu langganan banjir dan setiap lima tahun hampir selalu kena banjir bandang. Lihatlah mereka yang memilih daerah aliran sungai (DAS) untuk tempat tinggal. Mereka membangun rumah-rumah seadanya, menempati aliran sungai yang seyogyanya harus bebas mengalir. Orang-orang juga seringkali masih menggunakan sungai sebagai tempat pembuangan sampah. Alih-alih membangun gorong-gorong dan drainase yang memadai, juga taman-taman kota untuk penyerapan air, Pemda Jakarta tampaknya lebih senang membangun sarana&prasarana di atas tanah seperti mal (perlu diketahui: pada zaman Sutiyoso, pembangunan mal mencapai 20 kali lipat dibanding pada masa gubernur sebelumnya), gedung perkantoran, busway, real-estate, dan yang paling baru, monoreal. Izin pembangunan sangat mudah diberikan, padahal, tanpa draisnase yang memadai, kehancuran hanya tinggal menunggu waktu.
Belum lagi soal sampah, masyarakat Jakarta belum mengenal pemisahan sampah organik dan an-organik, juga pengolahannya yang efektif. Padahal di Austria sana, sampah diolah menjadi sumber pembangkit listrik. Saya yakin, hal ini bisa saja dilakukan di Indonesia.
Hal di atas adalah hanya sekelumit contoh ketidakmauan msyarkat untuk belajar memahami alam. Alam pasti memberi banyak, bila manusia belajar bagaimana mematuhinya. Bila manusia tidak mau belajar, kehancuran alam pasti akan semakin cepat.
Para penumpang pesawat terbang
Belum lama ini, saya kembali ke Jakarta dari Banda Aceh menggunakan sebuah maskapai penerbangan nasional. Maskapai nasional yang selama ini masih digunakan karena tidak ada piihan lain yang relatif aman dan baik pelayanannya. Bukan berita baru, bahwa banyak maskapai di Indonesia yang kurang baik keamanan dan pelayanannya.
Saya melihat perilaku-perilaku penumpang pesawat yang cenderung terburu-terburu. Seakan-akan, mereka bahkan tidak punya waktu untuk menghela nafas. Saya tidak membesar-besarkan. Misalkan saja, masuk ke dalam pesawat, seringkali saya melihat orang berebutan masuk; padahal pesawat masih butuh proses untuk memanaskan mesin dan bersiap-siap tinggal landas. Di dalam pesawat, seakan-akan para penumpang takut tempat duduknya terisi oleh yang lain, maka seringkali mereka tidak mau menunggu penumpang di depannya yang sedang bersusah payah memasukkan bagasinya ke tempat penyimpanan di atas tempat duduk. Padahal, tetap saja, tidak sampai memakan waktu dua menit. Alih-alih ngedumel, toh sebenarnya mereka bisa saja membantu.
Setelah itu, orang-orang yang tahu bahwa barang-barang elektronik seperti handphone akan mengganggu persiapan penerbangan, mereka akan segera mematikan handphone. Yang kurang sadar, masih menekan tuts-tutsnya untuk membalas sms atau melanjutkan pembicaraan yang tertunda. Mereka baru akan mematikan alat-alat tersebut, setelah pramugari mengingatkan bahwa mereka akan segera lepas landas. Saya yakin, pasti ada beberapa orang yang lupa mematikan telepon genggamnya. Padahal, sinyal-sinyal telepon genggam dapat membahayakan penerbangan.
Maka, lepas landaslah. Pada waktu-waktu ini, tidak terlihat perilaku orang-orang yang terburu-buru, toh pada saat ini kita hanya bisa menunggu pesawat sampai di tempat tujuan. Orang-orang biasanya memanfaatkan waktu untuk beristirahat, mengobrol, ataupun membaca buku.
Ketika pesawat baru saja menyentuh tanah, banyak orang yang serta merta membuka sabuk pengaman. Sudah ada aba-aba dari awak pesawat bahwa sabuk pengaman hendaknya baru dibuka setelah pesawat diparkir dengan sempurna, karena pada saat-saat inilah, sama seperti saat lepas landas, kondisinya sangat kritis. Tidak jarang, ada kasus pesawat tergelincir ketika akan parkir setelah mendarat.
Pada penerbangan ini, saya juga melihat perilaku orang yang sangat tergesa-gesa. Dia berdiri dan akan mengambil barang, padahal pesawat belum berhenti. Toh, kalau pesawat tidak berhenti, dia pun tidak bisa turun. Setelah pesawat berhenti, orang-orang dengan tergesa-gesa berdiri, berebutan mengambil bagasi, dan lekas-lekas turun.
Manusia memang makhluk yang suka tergesa-gesa. Dan menunggu memang tidak menyenangkan. Namun, bukanlah kadang kita harus menghargai waktu dengan berusaha menikmatinya? Hanya beda beberapa detik saja, toh pesawat tidak akan pergi kalau memang belum siap dan penumpang tidak bisa turun bila pesawat belum berhenti. Saya hanya tersenyum heran, karena baru saja kepala saya terantuk barang milik orang yang dengan ceroboh mengambil barangnya dari atas tempat duduk saya. Tanpa mengucapkan maaf, lalu ngacir saja.
Setergesa-tergesa itukah? Entahlah. Saya pun tidak habis pikir kenapa orang-orang tidak berusaha tenang dan santai bila naik pesawat. Apalagi, kalau perilku tersebut seringkali merugikan dan membahayakan penumpang yang lain. Karena saya tidak suka berebutan, maka seringkali saya merpersilakan orang-orang untuk duluan saja naik pesawat. Toh, saya masih berusaha menikmati waktu.
7 Februari 2007
Saya melihat perilaku-perilaku penumpang pesawat yang cenderung terburu-terburu. Seakan-akan, mereka bahkan tidak punya waktu untuk menghela nafas. Saya tidak membesar-besarkan. Misalkan saja, masuk ke dalam pesawat, seringkali saya melihat orang berebutan masuk; padahal pesawat masih butuh proses untuk memanaskan mesin dan bersiap-siap tinggal landas. Di dalam pesawat, seakan-akan para penumpang takut tempat duduknya terisi oleh yang lain, maka seringkali mereka tidak mau menunggu penumpang di depannya yang sedang bersusah payah memasukkan bagasinya ke tempat penyimpanan di atas tempat duduk. Padahal, tetap saja, tidak sampai memakan waktu dua menit. Alih-alih ngedumel, toh sebenarnya mereka bisa saja membantu.
Setelah itu, orang-orang yang tahu bahwa barang-barang elektronik seperti handphone akan mengganggu persiapan penerbangan, mereka akan segera mematikan handphone. Yang kurang sadar, masih menekan tuts-tutsnya untuk membalas sms atau melanjutkan pembicaraan yang tertunda. Mereka baru akan mematikan alat-alat tersebut, setelah pramugari mengingatkan bahwa mereka akan segera lepas landas. Saya yakin, pasti ada beberapa orang yang lupa mematikan telepon genggamnya. Padahal, sinyal-sinyal telepon genggam dapat membahayakan penerbangan.
Maka, lepas landaslah. Pada waktu-waktu ini, tidak terlihat perilaku orang-orang yang terburu-buru, toh pada saat ini kita hanya bisa menunggu pesawat sampai di tempat tujuan. Orang-orang biasanya memanfaatkan waktu untuk beristirahat, mengobrol, ataupun membaca buku.
Ketika pesawat baru saja menyentuh tanah, banyak orang yang serta merta membuka sabuk pengaman. Sudah ada aba-aba dari awak pesawat bahwa sabuk pengaman hendaknya baru dibuka setelah pesawat diparkir dengan sempurna, karena pada saat-saat inilah, sama seperti saat lepas landas, kondisinya sangat kritis. Tidak jarang, ada kasus pesawat tergelincir ketika akan parkir setelah mendarat.
Pada penerbangan ini, saya juga melihat perilaku orang yang sangat tergesa-gesa. Dia berdiri dan akan mengambil barang, padahal pesawat belum berhenti. Toh, kalau pesawat tidak berhenti, dia pun tidak bisa turun. Setelah pesawat berhenti, orang-orang dengan tergesa-gesa berdiri, berebutan mengambil bagasi, dan lekas-lekas turun.
Manusia memang makhluk yang suka tergesa-gesa. Dan menunggu memang tidak menyenangkan. Namun, bukanlah kadang kita harus menghargai waktu dengan berusaha menikmatinya? Hanya beda beberapa detik saja, toh pesawat tidak akan pergi kalau memang belum siap dan penumpang tidak bisa turun bila pesawat belum berhenti. Saya hanya tersenyum heran, karena baru saja kepala saya terantuk barang milik orang yang dengan ceroboh mengambil barangnya dari atas tempat duduk saya. Tanpa mengucapkan maaf, lalu ngacir saja.
Setergesa-tergesa itukah? Entahlah. Saya pun tidak habis pikir kenapa orang-orang tidak berusaha tenang dan santai bila naik pesawat. Apalagi, kalau perilku tersebut seringkali merugikan dan membahayakan penumpang yang lain. Karena saya tidak suka berebutan, maka seringkali saya merpersilakan orang-orang untuk duluan saja naik pesawat. Toh, saya masih berusaha menikmati waktu.
7 Februari 2007
(gambar diambil dari http://www.kompas.com/photos/KESEHATAN/penumpang.jpg)
Sunday, February 11, 2007
Shut your mobile down while you’re in the craft
Mungkin banyak orang yang belum mengamini kenapa mereka harus mematikan telepon genggamnya dan sama sekali tidak boleh dinyalakan selama berada di dalam kabin pesawat terbang.
Pesawat terbang modern sangat bergantung kepada gelombang radio untuk menjalankan berbagai fungsi, termasuk komunikasi dengan menara kontrol, navigasi dan pengaturan udara di dalam kabin. Intervensi gelombang rdio yang berasal dari telepon genggam dapat mengacaukan fungsi-fungsi ini.
Pemakai telepon genggam mungkin tidak menyadari, bahwa dalam keadaan standby pun, telepon genggam tetap memancarkan sinyal elektromagnetis yang berfungsi memberitahu komputer di jaringan telepon selulernya bahwa telepon genggam tersebut di dalam keadaan aktif dan dapat dihubungi. Sinyal tersebut kan sekin kuat ketika pemancar di base terminal station (BTS) berkomunikasi dengan telepon genggam untuk menyampaikan panggilan ataupun mengirimkan pesan singkat (SMS).
Padahal, setelah pesawat tinggal landas dan mendekati cruising altitute, telepon genggam tidak akan dapat berfungsi karen jarak dari BTS ke pesawat terlalu jauh. Pesawat juga bergerak terlalu cepat sehingga sebelum telepon genggam terdeteksi dan terdaftar di salah satu sel jaringan telepon genggam ia sudah meninggalkan sel tersebut. Akibatnya, telepon genggam yang terus aktif akan terus-menerus memancarkan sinyal elektromagnetis yang beresiko mengganggu berbagai peralatan penerbangan.
Oleh karena itu, demi keselamatan Anda dan ratusan penumpang lainnya, Anda wajib menyimpan telepon genggam Anda begitu memasuki pintu kabin. Bila Anda menyimpan telepon genggam lain di dalam tas bawaan, periksalah dan pastikanlah bahwa telepon genggam tersebut juga sudah Anda matikan. Anda tidak mau mati konyol hanya karena lupa mematikn telepon genggam Anda bukan?
Disadur bebas dari In Flight Magazine Garuda Indonesia edisi Februari.
Pesawat terbang modern sangat bergantung kepada gelombang radio untuk menjalankan berbagai fungsi, termasuk komunikasi dengan menara kontrol, navigasi dan pengaturan udara di dalam kabin. Intervensi gelombang rdio yang berasal dari telepon genggam dapat mengacaukan fungsi-fungsi ini.
Pemakai telepon genggam mungkin tidak menyadari, bahwa dalam keadaan standby pun, telepon genggam tetap memancarkan sinyal elektromagnetis yang berfungsi memberitahu komputer di jaringan telepon selulernya bahwa telepon genggam tersebut di dalam keadaan aktif dan dapat dihubungi. Sinyal tersebut kan sekin kuat ketika pemancar di base terminal station (BTS) berkomunikasi dengan telepon genggam untuk menyampaikan panggilan ataupun mengirimkan pesan singkat (SMS).
Padahal, setelah pesawat tinggal landas dan mendekati cruising altitute, telepon genggam tidak akan dapat berfungsi karen jarak dari BTS ke pesawat terlalu jauh. Pesawat juga bergerak terlalu cepat sehingga sebelum telepon genggam terdeteksi dan terdaftar di salah satu sel jaringan telepon genggam ia sudah meninggalkan sel tersebut. Akibatnya, telepon genggam yang terus aktif akan terus-menerus memancarkan sinyal elektromagnetis yang beresiko mengganggu berbagai peralatan penerbangan.
Oleh karena itu, demi keselamatan Anda dan ratusan penumpang lainnya, Anda wajib menyimpan telepon genggam Anda begitu memasuki pintu kabin. Bila Anda menyimpan telepon genggam lain di dalam tas bawaan, periksalah dan pastikanlah bahwa telepon genggam tersebut juga sudah Anda matikan. Anda tidak mau mati konyol hanya karena lupa mematikn telepon genggam Anda bukan?
Disadur bebas dari In Flight Magazine Garuda Indonesia edisi Februari.
Subscribe to:
Posts (Atom)