Ketika sebuah siklus hidup ditentukan oleh kontruksi masyarakat sakit dan bodoh..
Sebuah kepercayaan yang telah dihembuskan dari mulai kita lahir, bahwa siklus hidup manusia hanyalah lahir, besar, sekolah dari TK, lanjut ke SD, SMP, SMA, kuliah, bekerja, dan selanjutnya kawin. Hal ini, seperti layaknya kita percaya bahwa mentari terbit di timur dan tenggelam di barat, akhirnya mendarah daging dan menjadi sebuah keniscayaan. Padahal...
Siapa yang dari dulu mengharuskan pernikahan masuk ke dalam siklus hidup manusia? Dan kenapa, berhasil atau tidaknya orang-orang di Indonesia, salah satunya, dilihat dari sudah menikah atau belum. Tidak habis pikir. Apalagi perempuan. Kalau dia memilih tidak menikah, akan dicap yang tidak-tidak. Perawan tua lah, tidak laku lah, aneh lah, apapun. Padahal, seperti halnya menikah adalah pilihan, toh tidak menikah mestinya juga merupakan pilihan.
Hm, agak pusing memang. Repot jadi anaknya orang Indonesia. Ketika kita menyampaikan kepada orang tua bahwa kita belum mau atau tidak mau menikah, apalagi ketika dirasa umur sudah cukup. Kita akan dianggap pembangkang atau malah tidak normal. Karena memang, di Indonesia, anak adalah hasil investasi orang tuanya. Bukan hanya uang, tapi juga cinta, doa, peluh, darah, air mata, dan lain sebagainya.
Tak mungkin ganti orang tua. Mungkin harus belajar bagaimana caranya menyesuaikan diri lagi. Pelajaran seumur hidup :D
Thursday, May 26, 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment